El arte de leer y aprender

Leer e interpretar es definitivamente un arte pero no uno sencillo, en respuesta de que se necesita un ojo reflexivo que no puede juzga lo que lee sino que lo observa y lo reflexiona. Resulta muy…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Lost in Japan

From Tangerine Love AU by Almatiar

Entah sudah berapa banyak gang kecil seputaran Ginza yang Yudi sambangi, menengok ke dalam kios-kios kecil di sana untuk mencari sosok sang istri. Sebelumnya, Yudi juga sudah mengunjungi gedung Uniqlo Ginza, tempat yang ingin dikunjungi Kirana. Tetapi bahkan dari dua belas lantai yang ditelusurinya, Kirana tak kunjung ditemukan.

Yudi beranggapan ponsel Kirana betul-betul kehabisan daya. Berpuluh-puluh kali dicoba dihubungi, tetapi semua langsung tersambung ke kotak pesan. Pesan-pesan singkat yang dikirim juga hanya menunjukkan satu buah tanda centang, tanda pesan tak terkirim.

Takut. Menit itu Yudi mulai merasa takut. Skenario-skenario terburuk mulai bermain di kepalanya. Bagaimana kalau Kirana bertemu dengan orang jahat? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada bayi dalam kandungannya sehingga membuat sang istri tidak dapat melanjutkan kegiatannya? Lelaki itu mengerang frustasi sembari memandang ke layar ponsel yang masih kosong, belum ada notifikasi apapun dari Kirana disana.

Kemana lagi ia harus mencari?

Yudi kemudian mencoba menelusuri kembali jejak Kirana dari unggahan wanitanya itu di social media. Sepertinya Uniqlo adalah tujuan pertama, kemudian ia pasti mampir ke kedai takoyaki. Yudi kemudian mencoba menyisir kedai takoyaki di sekitar gedung Uniqlo, bahkan menunjukkan foto Kirana ke penjaga kedai. Namun hasilnya masih nihil.

Setelahnya ia melihat foto dango, juga daerah gang yang difoto oleh Kirana. Lelaki itu kembali menyusuri beberapa jalan kecil, mencoba mencocokkan pemandangan dari foto Kirana ke sana. Bermodalkan google translate dan kemampuan dasarnya membaca huruf hiragana, Yudi akhirnya menemukan kedai yang menjual dango.

Baru saja tangannya terjulur untuk membuka pintu geser berbahan kayu tersebut, suara tawa yang cukup familiar di rungu Yudi terdengar dari dalam. Dengan tergesa dibukanya pintu, dan betul saja, ternyata sosok Kirana sedang duduk bersila di atas lantai beralaskan tatami khas Jepang. Secangkir kecil teh dan camilan berbentuk seperti mochi tersaji di meja pendek di hadapan Kirana.

“Kirana?”

Puan yang dipanggil namanya itu pun mengalihkan perhatiannya ke arah pintu masuk.

“Eh? Mas Yudi? Astaga iya, aku lupa ngabarin lagi ya, maaf ya Mas, batre hpku habis, nggak bawa charger.”

Darah Yudi rasanya mendidih di kepala. Di satu sisi ia lega bahwa istrinya tersebut terlihat baik-baik saja, tetapi di sisi lain ia merasa kesal karena bagaimana bisa sang istri terlihat santai padahal dirinya luar biasa khawatir.

“Kamu kenapa nggak langsung balik hotel?” Tanya Yudi dengan raut wajah datar, berusaha menenangkan amarahnya sendiri.

“Iya Mas, tadi pergelangan kakiku kok nyeri, jadi aku istirahat dulu sebentar disini, tapi seru sendiri dengar cerita Tomomi-san ini yang punya kedai ini, dia lagi hamil juga ini 6 bulan sama.”

Bibir Yudi membentuk garis lurus, tatapannya intens, menyadarkan Kirana kalau suaminya itu tampaknya sedang marah. Maka ia pun dengan segera mengucapkan pamit kepada pemilik kedai dan menghampiri Yudi untuk mengarahkannya keluar kedai.

“Mas? Kamu marah ya?” Tanya Kirana hati-hati. Yudi sendiri sudah melenggang lebih dulu di depannya, meskipun Kirana dapat melihat sang suami mencoba memperlambat langkah agar sang istri dapat mengikuti.

Tiba-tiba Yudi berhenti berjalan, memutar balik tubuhnya agar menghadap ke arah Kirana.

“Kamu tahu nggak sepanik, setakut apa aku tadi, hmm?” Yudi mengepalkan tangannya di dalam saku celana demi menyalurkan sedikit amarah disana.

“Aku udah hampir lapor polisi saking aku udah nggak tahu lagi harus bagaimana.”

Kirana menyadari suara Yudi yang gemetar, menandakan lelaki itu memang betul-betul frustasi.

“Mas, maaf… bener-bener maaf ya…”

“Kamu lagi bawa anak kita, Kirana, tolonglah lebih ngerti sedikit perasaan aku tadi. Gimana coba kalau terjadi apa-apa sama bayi kita?”

Tiba-tiba hati Kirana sendiri seperti tersengat. Sebetulnya puan itu sudah merasakan hal ini dari beberapa minggu terakhir, tetapi selalu di kuburnya dalam-dalam perasaan jealous itu. Toh, ini adalah buah hatinya sendiri.

“Mas, kalau aku nggak hamil, apa kamu bakal ngerasa yang sama?”

Raut wajah Yudi berubah bingung.

“Maksudnya?”

“Ya aku ngerasa sekarang apa-apa kamu yang ditanya duluan adalah si baby, sedangkan aku belakangan. Emang kamu pikir aku nggak sedih digituin?”

Yudi menghela napas frustasi. Bisa-bisanya puan itu berpikir demikian. Tentu saja keduanya merupakan hal paling berharga bagi Yudi saat ini.

“Ya nggaklah sayang, kamu juga penting buat aku, jelas aku juga khawatir tentang kamu, aku justru ngerasa nggak enak sama kamu. Di perut kamu ada anak kita, tapi cuma kamu yang ngerasain beratnya, capeknya, aku nggak enak sama kamu, Kirana..”

Yudi kemudian melangkah maju mendekati sang istri yang matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya mencelos ketika melihat Kirana yang sedikit terseok ketika mengambil satu langkah mundur darinya. Ternyata di tengah amarahnya tadi, ia melupakan satu informasi penting. Kaki Kirana sakit. Hal itulah yang membuat sang istri harus beristirahat sejenak.

“Sayang, sayang, maafin aku ya. Nggak seharusnya langsung emosi kayak tadi. Kaki kamu masih sakit ya?” Yudi kemudian berlutut, mencoba meraih kaki kanan Kirana yang tadi terlihat limbung.

“Iya, kaki kanan aku nyeri. Udah nggak apa-apa, mungkin cuma kecapekan, aku juga kayaknya salah pakai sepatu, harusnya pakai yang nyaman aja kayak sneakers.” Balas Kirana. Kedua tangannya kini bertumpu di bahu Yudi ketika sang suami mengangkat kaki kanannya untuk diperiksa.

“Kamu kuat nggak ini jalan sampai hotel? Mau aku gendong aja?”

“Mas, malah bahaya ah kalau tiba-tiba jatuh gimana. Sini aku pegangan lengan kamu aja.”

Sepasang suami istri itupun mulai berjalan pelan menuju hotel mereka yang memang tidak jauh dari sana. Tangan Yudi melingkar erat di belakang pinggang sang istri, sementara Kirana memegang erat lengan jaket Yudi.

“Mas… Maaf ya tadi aku manja gitu… Aku tahu aku salah nggak ngabarin kamu segera. Aku baru sadar sekarang pasti kamu tadi panik ya.”

“Iya, aku juga maaf kebawa emosi. Tapi tolong lain kali jangan begitu ya, kalau batere hp kamu habis, cari pinjaman charger, atau minta tolong diantar ke hotel, atau gimana… Aku nggak cuma khawatirin anak kita, tapi terutama kamu istriku.”

“Iya, Mas.”

“Aku juga akan berusaha untuk lebih nunjukkin sayangku ke kamu, nggak cuma ke baby. Kalian berdua sama pentingnya buat aku.”

Kirana mengangguk.

“Aku juga Mas, akan lebih hati-hati ngambil keputusan, aku harus inget kalau fisikku udah berbeda dari waktu aku cuma sendiri, sekarang ada si baby yang perlu aku perhatiin. Dan aku harus inget kalau hamil memang fisikku berubah, jadi lebih mudah capek dan rentan, jadi nggak bisa ngukur dengan badan aku dulu.”

“Iya, jangan diforsir oke?”

“Iya, Mas. Nanti abis ini kita berendam ya, pakai bath salt, yuk yuk.”

Yudi mengecup pucuk rambut Kirana sebelum menganggukkan kepalanya dan mengingat dalam hati, bahwa memang menikah itu harus banyak kompromi dan harus pandai mengatur emosi.

Add a comment

Related posts:

Rules for Open Discourse in an American University Classroom

Rules for Open Discourse in an American University Classroom. If you are a Leftist White Heterosexual Male, sit in the back of the classroom, do not attempt to speak, take copious notes, and hope you….

Stormy night

Of lightning fright and thunderous might of the gods that light up the sky with each strike, shut your eyes tight, against the scorching white, but oh what a sight! The bulb in my mind suddenly…

Welcome to the Merry Month of May

We gratefully welcome the fifth month, if only in anticipation of her fairer weather. She provides a hopeful reprieve from last month. After surviving April 2021, it is a relief to flip the calendar…